Kamis, 24 Maret 2011

Menyoal Mahalnya Biaya Pendidikan

World Class University menjadi wacana yang terus bergulir di tengah praktisi pendidikan khususnya. Perguruan-perguruan tinggi mencoba berlari untuk mengejar status universitas berstandar internasional, terlebih melihat kualitas pendidikan di tengah-tengah persaingan global, tentu prestasi yang diraih PT di Indonesia belumlah membanggakan.

Banyaknya peminat mancanegara, paper internasional, kualitas dosen maupun mahasiswa, atau sarana prasarana menjadi beberapa kriteria PT yang layak menyandang status PT berstandar internasional. Kriteria ini digunakan Webometrics ataupun Dikti. Demi meningkatkan prestasi perguruan tinggi Indonesia di tengah pergulatan dunia, melalui program World Class University, pemerintah mengambil kebijakan otonomi kampus. Kebijakan ini menuntut perguruan tinggi berdiri secara mandiri.

Tentu saja kebijakan otonomi kampus tidak kosong dari resiko. Dampak yang terjadi sangatlah luas, membengkaknya biaya pendidikan yang dibebankan terhadap mahasiswa menjadi dampak yang sangat kentara. Ironisnya, rasio sarjana di Indonesia masih dibawah 4% dari penduduk Indonesia. Meski demikian, ternyata PT pun tidak memberikan masa depan yang menanjanjikan. Tercatat pengangguran-pengangguran intelektual berjumlah 1.142.751 orang pada tahun 2010 (http://bataviase.co.id). Hal ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pendidikan Indonesia sehingga tidak mampu mencetak generasi yang memiliki skill maupun soft skill yang cemerlang. Biaya yang membengkak bisa jadi menambah jumlah siswa yang tidak mampu melanjutkan ke tingkat PT.

Sangatlah terlihat bahwa perdagangan telah masuk ke ranah Pendidikan. Sekedar meraih peringkat standar internasional pada akhirnya menentang hukum negri sendiri yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ataukah memang keberadaan hukum negara dalam pendidikan ini bukanlah hukum baku yang menjadi acuan?

Euforia tahun ajaran baru mulai bergema. Dimeriahkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pola penerimaan mahasiswa baru program sarjana pada perguruan tinggi melalui pola seleksi secara nasional dilakukan oleh seluruh perguruan tinggi secara bersama untuk diikuti calon mahasiswa dari seluruh Indonesia. Hal ini berarti, seluruh calon mahasiswa yang akan masuk PT harus mengikuti seleksi SNMPTN. Meskipun yang memilih jalur Ujian Mandiri. Biaya yang dikenakan sebesar Rp 150.000 bagi IPA/IPS dan Rp 175.000 bagi IPC. Apabila ada mahasiswa yang tidak lulus SNMPTN maka bisa menggunakan jalur Mandiri sesuai keputusan universitas masing-masing dengan membayar uang pendaftaran berbeda, rata-rata mencapai Rp 350.000. Hal ini artinya mahasiswa tersebut sebelumnya wajib mengikuti SNMPTN.

Biaya pendaftaran hanyalah biaya awal yang harus ditanggung oleh calon mahasiswa. Salah satu universitas terkemuka di Indonesia 100% mengambil jalur SNMPTN sebagai jalur penjaringan masuk mahasiswa baru. Nampaknya seperti tidak ada masalah dalam penjaringan ini, tapi tentu apabila melihat lebih jauh, setiap orang akan tercengang dengan biaya yang harus dibayar oleh mahasiswa saat awal masuk perkuliahan yaitu sebesar 55 juta rupiah. Biaya semester yang harus dibayarkan sebesar 5 juta rupiah. Terhitung sampai lulus kuliah dengan asumsi lulus tepat waktu, seorang mahasiswa harus mengeluarkan dana 108 juta rupiah. Tentu saja ini suatu hal yang teramat mencengangkan. SNMPTN merupakan jalur harapan, karena biaya yang dibebankan relatif lebih rendah. Tahun 2010, mahasiswa bisa mengenyam bangku perkuliahan dengan uang berbilang kurang dari 10 juta melalui jalur SNMPTN. Tapi tahun ini SNMPTN menjadi tidak ada bedanya dengan jalur masuk lainnya yang jelas-jelas akan mempertontonkan pertarungan uang bukan sekedar kecerdasan. Lalu, bagaimanakah nasib rakyat yang mendambakan pendidikan tinggi tetapi tidak mampu mengakses karena biaya yang melangit?

Permasalahan pendidikan merupakan permaslahan cabang dari keberadaan sistem yang mengatur negara. Kapitalisme sebagai asas tunggal penegak Sistem di Indonesia telah menempatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagai komoditas perdagangan. Rector sebuah universitas mengatakan bahwa "Jadi bagi mereka yang mampu, ya bayar lebih tinggi. Jadi nanti akan ada kesediaan membayar lebih," ujarnya. (detiknews.com). begitulah, saat ini pendidikan digiring untuk bersifat pragmatis. Berorientasi terhadap materi, sehingga ada perguruan tinggi yang jelas-jelas memiliki misi Entrepreurial University

Hal ini sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam menempatkan ilmu pengetahuan di tempat yang teramat mulia. Menjadikan ilmu sebagai sebuah komoditas belaka berarti sama saja dengan menghina ilmu tersebut. Allah telah menempatkan ilmu di tempat yang mulia.

”Allah meninggikan drajat orang-orang yang berilmu” (Al-mujadilah:11)

Selain itu pula, lepas tanganya pemerintah terhadap pendidikan menjadi sebuah kekeliruan yang sangat mendasar. Ini bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw : ”Imam adalah ibarat pengembala dan dialah yang akan bertanggung jawab terhadap gambalaannya” (HR Muslim). Dan juga hadits yang artinya : ”Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR Muslim).

Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sistem pendidikan yang berkualitas. Mencakup kualitas dan segala sarana prasarana. Dewasa ini, keterbatasan dana menjadi senjata ampuh untuk berkelit. Padahal menurut Prof. Dr. Fahmi Amhar, jikalau saja Indonesia mengelola sumber daya alam hutan secara mandiri. Setiap tahun mampu menghasilkan 2 triliyun rupiah. Penghasilan ini sudah mampu menutupi hutang yang banyak menyedot jatah bidang lain. Sayangnya saat ini kapitalisme pun telah membungkan ekonomi untuk menyerahkan aset negara kepada swasta. Sehingga berdampak pula terhadap pembiyaan pendidikan.

Untuk itulah sejatinya pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, bukanlah diserahkan pada otonomi kampus. Tentu saja hal ini menjadi wajar terjadi, karena sistem saat ini menjadikan pendidikan asset perdagangan. Allah telah menciptakan pengaturan yang sempurna bagi manusia. Tentu saja sistem pendidikan dan ekonomi telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Pengaturan tersebut pernah selama 1300 tahun diterapkan di muka bumi. Selama 1300 tahun tersebut sistem Islam mampu menjadi mercusuar dunia.

Tidak ada yang menginginkan angka putus sekolah bertambah akibat mahalnya biaya pendidikan. Solusi yang tepat adalah mencabut akar permasalahan yaitu diterapkannya sistem yang sangat menyengsarakan rakyat. Kemudian menggantinya dengan sistem yang telah Allah tetapkan bagi manusia. Hal ini tidak bisa terjadi jikalau tidak ada kebersatuan misi dari seluruh elemen, bukan hanya praktisi pendidikan tapi pemerintah dan masyarakat harus turut andil mengambil langkah tersebut. Untuk mengembalikan sistem kehidupan kepada Islam yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa.



Oleh.

Nijmah Nurlaili
(Aktif bergiat di Forum Cinta Baca Bandung)
Jl. Gegerkalong Girang Bandung
Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar